Temanggung Central Java, Indonesia. 87 people like this. 87 people follow this. +62 857-8883-8317. kuttabpermataquran@gmail.com. Seorangpenuntut ilmu juga harus memperhatikan adab-adab menuntut ilmu. Selain itu, ada beberapa faktor yang hendaknya menjadi perhatian bagi seorang penuntut ilmu sehingga menjadi sebab keberhasilan dalam proses belajarnya. Pertama, memulai dengan pelajaran yang ringan sebelum yang berat. Banyak penuntut ilmu yang tidak paham apa yang Ketahuilah menuntut ilmu adalah suatu kemuliaan yang sangat besar dan menempati kedudukan tinggi yang tidak sebanding dengan amal apa pun.[4] 2. Menuntut Ilmu Syar’i Memudahkan Jalan Menuju Surga Setiap Muslim dan Muslimah ingin masuk Surga. Maka, jalan untuk masuk Surga adalah dengan menuntut ilmu syar’i. Orangyang mengetahui ilmu tetapi tidak mengamalkannya # maka disiksa sebelum disiksanya para penyembah berhala. Setiap orang yang beramal tanpa ilmu # maka amal-amalnya ditolak tidak diterima. Oleh karena itu, kita mesti senantiasa belajar, lalu memahami, kemudian mengamalkan ilmu, dan mengkreasikannya sehingga membuahkan . SALAH satu cara agar ilmu agama tetap bertahan dan berkah adalah dengan memperhatikan adab. Adab sangat penting dalam menuntut ilmu agama. Jika ada orang ingin minta bantuan misalnya minta makanan kepada kita, tapi adabnya ketika meminta tidak sopan, semisal kasar meminta bahkan membentak, apakah kita akan memberi? Tentu tidak. Demikian juga dengan ilmu agama, bagaimana kita bisa mendapatkan ilmu dan keberkahannya jika cara dan adab menuntut ilmu tidak kita tunaikan. BACA JUGA Berilmu Dulu Baru Beramal Itu Penting Sebagaimana disebutkan orang-orang soleh terdahulu, adab dalam menuntun ilmu itu lebih penting dari banyaknya ilmu itu sendiri. Imam Darul Hijrah, Imam Malik rahimahullah pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy, تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم “Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.” Kenapa sampai para ulama mendahulukan mempelajari adab? Sebagaimana Yusuf bin Al Husain berkata, بالأدب تفهم العلم “Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.” Guru penulis, Syaikh Sholeh Al Ushoimi berkata, “Dengan memperhatikan adab maka akan mudah meraih ilmu. Sedikit perhatian pada adab, maka ilmu akan disia-siakan.” Oleh karenanya, para ulama sangat perhatian sekali mempelajarinya. Ibnul Mubarok berkata, تعلمنا الأدب ثلاثين عاماً، وتعلمنا العلم عشرين BACA JUGA Mendalami Ilmu Itu seperti Berenang “Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.” Ibnu Sirin berkata, كانوا يتعلمون الهديَ كما يتعلمون العلم “Mereka -para ulama- dahulu mempelajari petunjuk adab sebagaimana mereka menguasai suatu ilmu.” [] SUMBER RUMAYSHO Home Tausyiah Sabtu, 06 Februari 2021 - 2227 WIBloading... Ustaz Budi Ashari, dai yang juga pakar sejarah Islam. Foto/Ist A A A Dalam satu hadis yang diriwayatkan Imam Abu Daud, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda bahwa orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Islam sangat menekankan akhlak karena baginda Nabi صلى الله عليه وسلم tidaklah diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak manusia dan menjadi uswatun hasanah teladan yang baik. Bahkan Nabi menegaskan dalam sabdanya, bahwa yang paling banyak memasukkan ke surga adalah takwa kepada Allah dan akhlak mulia. Baca Juga Begitu berharganya akhlak dan adab sehingga umat Islam diperintahkan untuk memuliakan akhlak dan adab. Akhlak mulia merupakan cerminan keimanan yang juga Pakar Sejarah Islam Ustaz Budi Ashari menerangkan, akhlak dan keteladanan kepada seorang guru adalah sesuatu yang bukan merupakan pilihan, tetapi adalah keharusan. Seorang guru adalah seorang yang menjadi teladan bagi siapapun anak didiknya."Keteladanan itu sesuatu yang dipelajari oleh murid sebelum dia mempelajari ilmunya. Adab akhlak itu sangat luar biasa," kata Ustaz Budi Ashari dalam satu Mubarok berkataتعلمنا الأدب ثلاثين عاماً، وتعلمنا العلم عشرين"Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun."Masya Allah. Beliau dari para gurunya belajar keteladanan mereka, meniru mereka, mempelajari akhlak mereka 30 tahun lamanya belajar itu. Dan belajar ilmu hanya 20 tahun, lebih Ibnu Jauzi dalam Shifatush Shafwah juga menyampaikan pernyataan Abdullah bin Mubarak yang lainnya bahwa adab itu dua pertiga ilmu. Kalau seseorang ingin mendapatkan ilmu yang bermanfaat, ilmu yang banyak, dan melimpah, maka berlajarlah adab sebelum ilmu."Maka berdirilah untuk guru berikan kepada mereka kemuliaan karena nyaris saja guru menjadi seperti Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam," ajak Ustaz fiikum, Semoga Allah senantiasa menjaga dan memberikan pahala balasan terbaik atas jasa-jasa para guru. Baca Juga Wallahu A'lamrhs menuntut ilmu adab akhlak akhlak islam ustaz budi ashari Artikel Terkini More 27 menit yang lalu 28 menit yang lalu 48 menit yang lalu 55 menit yang lalu 1 jam yang lalu 1 jam yang lalu Karena tanpa adab, ilmu yang dikumpulkan hanyalah tumpukan pengetahuan, tidak mencerminkan keindahan dan kelezatan. Oleh KH Hafidz Abdurrahman Khadim Ma’had Syaraful Haramain Pentingnya Adab — Ibn Hajar al-Asqalani w. 852 H rahimahu–Llah, menyatakan, bahwa belajar adab itu artinya mengambil akhlak yang mulia [Lihat, Ibn Hajar, Fath al-Bari, Juz X/400]. Begitu pentingnya belajar adab itu, sampai Sufyan at-Tsauri w. 161 H mengatakan, “Ketika seseorang ingin menulis hadits, maka dia terlebih dulu belajar adab, dan ibadah, dua puluh tahun, sebelumnya menulis hadits.” [Abu Nu’aim, Hilyatu al-Auliya’, Juz VI/361] Hal yang hampir senada juga disampaikan oleh Ibn Mubarak. Beliau menyatakan قَالَ لِيْ مَخْلَدُ بْنِ الْحُسَيْنِ نَحْنُ إِلَى كَثِيْرٍ مِنَ الأَدَبِ أَحْوَجُ مِنَّا إِلَى كَثِيْرٍ مِنَ الْحَدِيْثِ “Makhlad bin al-Husain berkata kepadaku, “Kami lebih membutuhkan banyak adab, ketimbang kebutuhan kami akan banyak hadits.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/80] Bahkan, dalam kitab yang sama, Ibn Mubarak w. 181 H, menyatakan مَنْ تَهَاوَنَ بِالأَدَبِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِ السُّنَنِ، وَمَنْ تَهَاوَنَ باِلسُّنَنِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِ الْفَرَائِضِ، وَمَنْ تَهَاوَنَ بِالْفَرَائِضِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِ المَعْرِفَةِ “Siapa saja yang meremehkan adab, maka dia akan disiksa dengan kekurangan akan [amalan] sunah. Siapa saja yang meremehkan amalan sunah, maka dia akan disiksa dengan kekurangan akan [amalan] fardhu. Siapa saja yang meremehkan amalah fardhu, maka dia akan disiksa dengan kekurangan akan makrifat.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/80] Menunjukkan begitu pentingnya adab, sebelum ilmu. Karena tanpa adab, ilmu yang dikumpulkan hanyalah tumpukan pengetahuan, tidak mencerminkan keindahan dan kelezatan. Apa Sesungguhnya Adab? Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah w. 751 H menyatakan عِلْمُ الأَدَبِ هُوَ عِلْمُ إِصْلاَحِ اللِّسَانِ وَالْخِطَابِ، وَإِصَابَةِ مَوَاقِعِهِ، وَتَحْسِيْنِ أَلْفَاظِهِ، وَصِيَانَتِهِ عَنِ الْخَطَأِ وَالْخَلَلِ “Ilmu adab adalah ilmu untuk memperbaiki lisan [tutur kata], seruan, ketepatan dalam menempatkan pada posisinya, pemilihan kata yang baik dan tepat, serta menjaganya dari kesalahan dan cacat.” [Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Madzariju as-Salikin, Juz II/368] Menurut Syaikh Shalah Najib ad-Daqq, adab itu ada dua Pertama, adab alami [tabhî’i], yaitu adab yang Allah ciptakan pada diri manusia, dengan ciri dan karakteristik itu. Kedua, adab hasil belajar [iktisâbi], yaitu adab yang diperoleh oleh seseorang karena belajar dari orang yang memiliki ilmu dan kemuliaan. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Zari’, yang ketika itu menyertai delegasi Abdu al-Qais, beliau menyatakan أن النبيَّ صلى الله عليه وسلم قال للمنذر الأشج إن فيك خَلَّتين يحبهما الله؛ الحِلْم، والأَنَاة، قال يا رسول الله، أنا أتخلَّق بهما أمِ اللهُ جبَلني خلقني عليهما؟ قال بلِ اللهُ جبَلك عليهما، قال الحمد لله الذي جبلني على خَلَّتين يحبُّهما الله ورسوله؛ “Nabi sha-Llahu alaihi wa Sallama bersabda kepada al-Mundzir al-Asyaj, “Sesungguhnya di dalam dirimu ada watak alami yang keduanya dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu sifat “hilm” [kelapangan dada] dan “anât” [kesabaran].” Beliau bertanya, “Ya Rasulullah, apakah aku berakhlak dengan keduanya [karena belajar], atau Allah yang telah menciptakan aku memiliki watak seperti itu?” Baginda sha-Llahu alaihi wa Sallama menjawab, “Bukan [kamu], tetapi Allahlah yang telah menciptakan kamu memiliki watak seperti itu.” Beliau menimpali, “Segala puji hanya milik Allah, Dzat yang telah menciptakan aku dengan dua watak alami yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.” [Hr. Abu Dawud, hadits hasan. Lihat, al-Albani, Shahîh Abî Dâwud, hadits no. 4353] Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah menuturkan أدب المرء عنوانُ سعادته وفلاحه، وقلة أدبه عنوان شقاوته وبَوَارِه، فما استُجلِب خيرُ الدنيا والآخرة بمثل الأدب، ولا استُجلِب حرمانُهما بمثل قلة الأدب. “Adab seseorang itu adalah alamat kebahagiaan dan keberuntungannya. Sedangkan minimnya adab merupakan alamat kenestapaan dan kerugiaannya. Tidak ada kebaikan di dunia dan akhirat yang diharapkan untuk diperoleh seperti memperoleh adab. Begitu juga, tak ada yang sudi mendapatkan keburukan di dunia dan akhirat sebagaimana minimnya adab.” [Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Madarij as-Salikin, Juz II/368] Tolok Ukur Adab Sufyan bin Uyainah [w. 198 H], guru Imam as-Syafii [w. 204 H], menyatakan إن رسولَ الله صلى الله عليه وسلم هو الميزان الأكبر؛ فعليه تُعرَض الأشياء، على خُلقه وسيرته وهَديه، فما وافقها فهو الحق، وما خالفها فهو الباطل “Sesungguhnya Rasulullah sha-Llahu alaihi wa Sallama merupakan mizan [neraca/tolok ukur] besar. Kepadanya semua perkara diajukan [dibentangkan untuk diukur], berdasarkan akhlak, perjalanan hidup dan tuntunan baginda. Mana yang sesuai, maka itu merupakan kebenaran. Mana yang menyimpang, maka itu merupakan kebatilan.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/79] Karena itu, Muhammad bin Syihab az-Zuhri [w. 124 H] menyatakan إن هذا العلم أدبُ الله الذي أدَّب به نبيه صلى الله عليه وسلم، وأدَّب النبي صلى الله عليه وسلم أمَّته، أمانة الله إلى رسوله ليؤديه على ما أُدِّي إليه، فمن سمع علمًا فليجعله أمامه حجةً فيما بينه وبين الله عز وجل؛ “Sesungguhnya ilmu ini merupakan adab Allah, yang Dia gunakan untuk mendidik Nabi-Nya, sha-Llahu alaihi wa Sallama, yang juga digunakan oleh Nabi sha-Llahu alaihi wa Sallama, untuk mendidik umatnya. Merupakan amanah Allah kepada Rasul-Nya agar baginda tunaikan sebagaimana yang telah disampaikan kepada baginda. Maka, siapa saja yang mendengarkan ilmu, maka hendaknya dia menjadikan ilmunya itu menjadi hujah di hadapannya, antara dia dengan Allah Azza wa Jalla.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/78] Rasulullah sha-Llahu alaihi wa Sallama itu sendiri merupakan sumber yang luar biasa. Alquran, yang diturunkan kepada kita, yang terkumpul dalam mushaf, mulai dari al-Fatihah hingga an-Nas, itu benar-benar telah dihidupkan oleh baginda Nabi sha-Llahu alaihi wa Sallama sebagai sebuah peradaban selama 23 tahun kehidupan risalah dan nubuwwah baginda sha-Llahu alaihi wa Sallama. Semuanya itu direkam oleh para sahabat. Ada yang kemudian diriwayatkan secara lisan, baik menuturkan ucapan, tindakan maupun diamnya baginda Nabi sha-Llahu alaihi wa Sallama sehingga menjadi hadits. Ada juga yang diriwayatkan dalam bentuk Ijmak Sahabat, karena mereka semuanya tahu seluk-beluk kehidupan baginda sha-Llahu alaihi wa Sallama. Maka, dari kehidupan para sahabat, kita juga bisa menimba adab. Begitu juga dari generasi berikutnya, yang mewarisi peradaban agung dan mulia dari mereka. Wajar, jika konvensi penduduk Madinah, sampai dijadikan oleh Imam Malik sebagai salah satu sumber hukum. Lihatlah, sampai hari ini, penduduk Madinah merupakan penduduk yang paling tinggi akhlaknya. Bagaimana Mereka Belajar Adab? Muhammad bin Sirin [w. 110 H] menceritakan karakteristik Tabiin, “Mereka itu mempelajari tuntunan hidup [adab], sebagaimana mereka mempelajari ilmu.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/79] Imam Malik bin Anas [w. 179 H] pernah menyatakan kepada seorang pemuda Quraisy, “Wahai putra saudaraku, pelajarilah adab, sebelum kamu belajar ilmu.” [Abu Nu’aim, Hilyatu al-Auliya’, Juz VI/330]. Beliau juga menyatakan, “Hak yang menjadi kewajiban bagi siapa yang menuntut ilmu, agar dia memiliki penghormatan, ketenangan, dan rasa takut [kepada Allah]. Hendaknya dia juga mengikuti jejak orang-orang sebelumnya.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/156] Ibn Wahab menyatakan, “Adab Imam Malik yang kami nukil, yaitu apa yang kami pelajari, lebih banyak ketimbang ilmunya.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz VIII/113] Ad-Dahabi juga menuturkan, bahwa Ismail bin Uliyyah berkata, “Dulu orang berkumpul di Majlis Imam Ahmad ada kira-kira 5000, atau lebih, hingga 500 orang. Mereka menulis. Sisanya, mereka belajar dari beliau mengenai kemuliaan adab dan perilaku.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz XI/316] Para murid dan pengikut Abdullah bin Mas’ud, sahabat Nabi, pergi dan datang untuk berguru kepada beliau. Mereka melihat bagaimana kemuliaan perilaku beliau, dan tuntunan hidup [yang terkait dengan respek, penghormatan dan ketenangan] beliau. Mereka pun menduplikasikannya, sebagaimana Abdullah bin Mas’ud. [al-Qasim bin Salam, Gahrib al-Hadits, Juz I/384] Begitu juga para murid dan pengikut Ali bin al-Madini [w. 234 H], guru Imam al-Bukhari, sebagaimana diceritakan oleh Abbas al-Anbari, “Mereka menulis tentang berdirinya Ali bin al-Madini [guru Imam al-Bukhari], begitu juga duduknya, pakaiannya, dan apa saja yang beliau sampaikan, dan lakukan. Atau hal-hal seperti itu.” [al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, Juz XIII/321] An-Nakha’i [w. 96 H] mengatakan, “Mereka [generasi Salaf], ketika mendatangi seseorang [ulama’] untuk mengambil ilmu darinya, maka mereka akan perhatikan perilakunya, shalat dan keadaannya, baru setelah itu mereka mengambil ilmu darinya.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/28] Beliau juga menuturkan, “Jika kami ingin mengambil ilmu dari seorang guru [Syaikh], maka kami akan menanyakan tentang makanan dan minumam beliau, tentang tempat keluar dan masuknya.” [al-Jurjani, al-Kamil fi Dhu’afa’ ar-Rijal, Juz I/602] Maka, sebagian orang bijak mengatakan, “Adab dalam perbuatan [perilaku] merupakan indikasi diterimanya amal [perbuatan].” [Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Madarij as-Salikin, Juz II/360] Membersamai Ulama’ Membersamai ulama’ dalam waktu yang lama merupakan cara terbaik untuk mendapatkan adab dan ilmu. Begitulah dahulu para sahabat dan generasi setelahnya belajar adab dan ilmu. Imam al-Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan dari al-A’raj, berkata, “Aku pernah mendengar Abu Hurairah berkata إنكم تزعمون أن أبا هريرة يُكثر الحديث عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، واللهُ الموعد، كنتُ رجلًا مسكينًا، أخدُمُ رسول الله صلى الله عليه وسلم على مِلْءِ بطني، وكان المهاجرون يَشغَلهم الصَّفْقُ بالأسواق، وكانت الأنصار يَشغَلهم القيام على أموالهم، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم مَن يبسط ثوبه، فلن ينسى شيئًا سمعه مني، فبسطت ثوبي حتى قضى حديثه، ثم ضممتُه إليَّ، فما نسيت شيئًا سمعته منه؛ “Kalian mengira, bahwa Abu Hurairah itu memiliki banyak hadits dari Rasulullah sha-Llahu alaihi wa Sallama? Allah Dzat Maha Tahu dan Membuat perhitungan [jika aku berbohong]. Aku adalah lelaki miskin. Aku membantu Rasulullah sha-Llahu alaihi wa Sallama dengan batas kemampuanku. Sementara kaum Muhajirin mereka sibuk dengan berdagang di pasar. Kaum Anshar sibuk mengurus harta mereka. Maka, Rasulullah sha-Llahu alaihi wa Sallama bertanya, “Siapa yang bersedia membentangkan bajunya, maka dia tak akan pernah lupa sedikit pun apa yang dia dengarkan dariku.” Maka, akupun membentangkan bajuku, hingga baginda pun menyampaikan haditsnya. Lalu, aku pun menghimpunnya di dalam diriku. Sejak itu, aku tak pernah lupa sedikitpun tentang apa yang aku dengarkan dari baginda sha-Llahu alaihi wa Sallama.” [Hr. Bukhari dan Muslim] Begitulah, kisah tentang Abu Hurairah, yang datang ke Madinah, setelah peristiwa Perang Khaibar, setelah Sulh Hudaibiyah, tahun 6 H. Dengan kata lain, beliau hanya bersama Nabi tidak kurang dari 4 tahun. Tetapi, karena tekadnya membersamai Nabi sha-Llahu alaihi wa Sallama itulah yang membuatnya menguasai banyak hadits, dan karamah, karena doa dari Nabi sha-Llahu alaihi wa Sallama. Imam Abu Hanifah w. 148 H menuturkan, “Aku membersamai Hamad bin Abi Sulaiman selama 12 tahun.” [al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, Juz XV/444]. Beliau melanjutkan, “Aku tidaklah shalat, sekali saja, sejak Hamad wafat, kecuali aku memintakan ampunan untuknya dan kedua orang tuaku. Aku juga memintakan ampunan untuk mereka yang aku telah belajar ilmu darinya, atau murid yang aku ajari ilmu.” [al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, Juz XV/444]. Kata Imam Malik, “Dulu, ada orang [alim] yang bolak-balik kepada seorang [alim] selama 30 tahun, untuk menimba ilmu darinya.” Beliau juga menceritakan, “Nu’aim al-Mujimar membersamai Abu Hurairah selama 20 tahun.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz XI/108] Tsabit al-Bunani mengatakan, “Aku telah membersamai Imam Anas bin Malik selama 40 tahun. Aku tidak melihat ada orang yang ahli ibadah melebihi beliau.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz V/222]. Bagitu juga Nafi’ bin Abdillah menuturkan, “Aku membersamai Malik selama 40 tahun, atau 35 tahun.” [Abu Nu’aim, Hilyatu al-Auliya’, Juz VI/320] Bahkan, kata Ibn Hibban, “Hamid bin Yahya al-Balkhi, termasuk orang yang telah menghabiskan umurnya dengan membersamai Sufyan bin Uyainah.” [Ibn Hibban, at-Tsiqqat, Juz VIII/218] Mereka bertahun-tahun membersamai ulama’, tak hanya belajar adab, ilmu, tetapi juga mengharapkan keberkahan. Di antara keberkahan membersamai ulama’ itu, sebagaimana diceritakan oleh Abdullah bin Abi Musa at-Tasturi, “Ada yang memberi nasihat kepadaku, “Di mana pun kamu berada, dekatlah dengan orang yang faqih.” Maka, aku pun datang ke Beirut, menemui Imam al-Auza’i. Ketika aku sedang bersamanya, tiba-tiba beliau bertanya tentang urusanku, dan aku pun memberitahukannya kepada beliau. Beliau bertanya, “Apakah kamu mempunyai ayah?” Aku jawab, “Iya. Aku meninggalkannya di Irak dalam keadaan Majusi.” Beliau bertanya, “Apakah kamu bisa kembali kepadanya, siapa tahu Allah memberikan hidayah melalui kedua tanganmu?” Aku bertanya, “Apakah Anda menyarankan itu kepadaku?” Beliau menjawab, “Iya.” Maka, aku pun mendatangi ayahku. Aku mendapatinya sedang sakit. Beliau berkata kepadaku, “Wahai putraku, apa yang menjadi keyakinanmu?” Maka, aku pun menceritakan kepada beliau, bahwa aku telah memeluk Islam. Beliau bertanya kepadaku, “Coba jelaskan agamamu itu kepadaku.” Aku pun menceritakan Islam dan pemeluknya kepada beliau. Beliau kemudian berkata, “Aku bersaksi, bahwa aku benar-benar telah memeluk Islam.” Beliau pun wafat dalam sakitnya itu. Aku menguburkannya, kemudian aku kembali menemui Imam al-Auza’i, lalu aku menceritakannya kepada beliau.” [Ibn Asyakir, Tarikh Dimasyqa, Juz XXX/231] Begitulah, kebiasaan generasi terbaik umat Nabi Muhammad ini di masa lalu. Mereka membersamai ulama’, dan benar-benar mengharapkan keberkahan dengan membersamai mereka. Contoh Adab Ulama’ Thawus bin Kisan berkata, “Di antara perkara sunah [tuntunan Nabi] adalah menghormati orang alim [yang berilmu].” [Ibn Abd al-Barr, Jami’ Bayan al-Ilm, Juz I/519] Al-Hasan al-Bashri menuturkan, “Ibn Abbas tampak menuntun tunggangan Ubay bin Ka’ab. Kemudian ada yang bertanya kepada beliau, “Anda adalah putra dari paman Rasulullah, Anda menuntun tunggangan seorang lelaki Anshar?” Beliau menjawab, “Sudah menjadi keharusan bagi tinta [sumber ilmu] untuk diagungkan dan dimuliakan.” [al-Khathib al-Baghdadi, al–Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/108] Amir as-Sya’bi juga berkata, “Ibn Abbas telah memegangi tungangan Zaid bin Tsabit, lalu beliau berkata, “Anda memegangi untukku, sementara Anda adalah putra dari paman Rasulullah?” Beliau menjawab, “Beginilah kami seharusnya memperlakukan ulama’.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/108] Dalam riwayat lain, Ibn Abbas memuji beliau dengan mengatakan, “Zaid bin Tsabit merupakan orang-orang yang ilmunya mendalam.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz II/437] Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata, “Yahya bin Sa’id telah membersamai Rabi’ah bin Abi Abdurrahman at-Taimi. Jika Rabi’ah berhalangan, Yahya menyampaikan hadits kepada mereka dengan sempurna. Beliau adalah murid yang banyak menguasai hadits. Tetapi, jika Rabi’ah hadir, maka Yahya pun menahan diri, karena menghormati Rabi’ah. Bukan karena Rabi’ah lebih tua darinya, padahal usianya sama. Masing-masing saling menghormati.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz VI/92] Ubaidillah bin Umar berkata, “Yahya bin Sa’id biasa menyampaikan hadits kepada kami. Beliau pun menyampaikan kepada kami, ibarat mutiara. Tetapi, ketika Rabi’atu ar-Ra’yi muncul, seketika Yahya menghentikan penjelasannya, karena menghormati Rabi’ah dan memuliakannya.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/320] Muhammad bin Rafi’ berkata, “Aku bersama Imam Ahmad dan Ishaq di tempat Imam Abdurrazzaq. Hari Raya Idul Fitri menghampiri kami. Kami keluar bersama Abdurrazzaq ke tempat shalat. Kami bersama banyak orang. Ketika kami kembali, Abdurrazzaq mengajak kami makan. Beliau berkata kepada Imam Ahmad dan Ishaq, “Hari ini aku melihat ada yang aneh pada diri kalian berdua. Mengapa kalian tidak mengumandangkan takbir?” Imam Ahmad dan Ishaq menjawab, “Wahai Abu Bakar [Imam Abdurrazzaq], kami menunggu, apakah Anda mengumandangkan takbir atau tidak? Maka, kami pun akan mengumandangkan takbir. Ketika kami melihatmu tidak mengumandangkan takbir, maka kami pun menahan diri.” Beliau berkata, “Aku juga melihat kalian berdua. Apakah kalian berdua mengumandangkan takbir, atau tidak?” Maka, aku pun akan mengumandangkan takbir.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz IX/566] Lihatlah, adab Imam Muslim kepada Imam al-Bukhari, gurunya, “Biarkanlah aku mencium kedua kakimu, wahai guru para guru, penghulu para ahli hadits, dan dokter hadits yang menguasai segala macam penyakitnya.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz XII/432] Begitulah, adab dan akhlak para ulama’ di masa lalu.[] Facebook Notice for EU! You need to login to view and post FB Comments! Gambar Poster Dakwah yang diikutsertakan dalam Kompetisi Islamic Poster Competition Eksis FE Unnes. Adab Menuntut Ilmu adalah Iman sebelum adab, adab sebelum ilmu, dan ilmu sebelum amal. Maksud dari iman sebelum adab, yaitu kita HARUS paham sejatinya manusia di bumi ini diciptakan sebagai apa? Tentunya jika mengaku sebagai makhluk Allah yang diberikan banyak kelebihan, kita wajib tahu pula bahwa Allah menciptakan jin dan manusia tidak lain untuk beribadah kepada-Nya. Dari konsep itulah kemudian kita akan tahu mengenai adab berhubungan dengan Allah, adab serta berhubungan dengan manusia sebagai sarana beribadah secara horizontal. Adab sebelum ilmu berarti bahwa diri manusia HARUS memiliki akhlak yang baik sebelum menerima ilmu. Misalnya, seorang tahfidz al-Qur’an harus memiliki akhlak mulia. Jika tidak, bisa jadi ia akan menggunakan kelebihannya itu untuk menyombongkan diri. Kemudian, ilmu sebelum amal. Sebelum mengamalkan suatu hal, kita WAJIB hukumnya menguasai ilmunya terlebih dahulu. Karena kita harus mengerti apakah amalan atau perbuatan yang hendak kita lakukan sesuai dengan hukum-Nya atau tidak. Terkadang, seseorang memiliki semangat yang luar biasa, namun masih minim ilmunya. Tetapi karena semangatnya yang membara, ia tetap bergerak padahal sebenarnya salah karena ketidaktahuannya. Akan sangat berbahaya jika seseorang bersemangat berjihad, namun ia belum memperoleh ilmu agama secara mendalam. Suatu saat ketika melihat suatu kelompok melakukan tindakan yang menyimpang atas nama agama, bisa jadi ia begitu saja percaya dan mengikuti perbuatan salah tersebut. Oleh karenanya, ketiga adab menuntut ilmu WAJIB kita pahami dan kita lakukan secara berurutan. Tidak cukup menuntut ilmu hanya berpegang pada semangat. Menuntut ilmu pun ada aturannya, agar niat baik yang kita tanam tidak menjadi sebuah kesia-siaan. Supaya pencapaian dapat diraih setinggi mungkin, serta kelak dapat kita petik seindah yang telah kita tanam. Kesuksesan itu tidak dapat diukur dengan harta yang bergelimpangan maupun tahta yang setinggi angkasa. Allah MahaTahu segalanya. Suksesnya diri kita, hanya Dia YangAgung yang dapat menilainya. Wallahu a’lam bishawab.

adab sebelum ilmu ilmu sebelum amal